Selasa, 06 April 2010

Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pada Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah Menengah Atas



PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3, bahwa :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Depdiknas RI, 2003 :3)
Berdasarkan UU Sisdiknas di atas maka salah salah satu ciri manusia berkualitas adalah mereka yang tangguh iman dan takwanya serta memiliki akhlak mulia. Dengan demikian salah satu ciri kompetensi keluaran pendidikan kita adalah ketangguhan dalam iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia. Kemuliaan akhlak dan budi pekerti menjadi indikator nyata tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Bagi umat Islam, dan khususnya pendidikan Islam, kompetensi iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia tersebut sudah lama disadari kepentingannya, dan sudah diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam kompetensi imtak dan iptek serta akhlak mulia diperlukan oleh manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Bagaimana peran khalifah tersebut dapat dilaksanakan, diperlukan dua hal (1) landasan yang kuat berupa imtak dan akhlak mulia, dan (2) alat untuk melaksanakan perannya sebagai khalifah adalah iptek. Dengan demikian tidak mengenal dikotomi antara imtak dan iptek, namun justru sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya. Drs. Hasbullah mengatakan bahwa pendidikan Islam tidak menghendaki terjadinya dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis-empiris, intuitif dan materialistis (Hasbullah, 1999 : 7)
Berkaitan dengan pengembangan imtak dan akhlak mulia maka yang perlu dikaji lebih lanjut ialah peran pendidikan agama, sebagaimana dirumuskan dalam UU Sisdiknas. Nomor 20 Tahun 2003 BAB VI Bagian kesembilan pasal 30 ayat 2 bahwa :
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/ atau menjadi ahli ilmu agama (Depdiknas RI, 2003: 10)
Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam semua kurikulum disemua jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Dalam kurikulum yang terbaru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) pada pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh peserta didik bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan yang lainnya.
Tantangan yang dihadapi dalam Pendidikan Agama khususnya Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia, selanjutnya terimplementasi dalam kehidupan keseharian peserta didik. Dengan demikian materi pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja. Kendala lainnya adalah lemahnya tingkat kreatifitas para pendidik mata pelajaran Pendidikan Agama Islam karena sebagaian besar masih menganut paradigma pembelajaran konvensionalistik, yakni pola belajar tradisonal yang cenderung menjadikan peserta didik sebagai objek proses pembelajaran dan pendidik menjadi satu-satunya sumber informasi dan pengetahuan. Akibatnya akan terjadi pola belajar teacher centered di mana pendidik memonopoli segala aktivitas belajar dengan menggunakan metode yang monoton tanpa adanya improvisasi metodologi penyajian materi yang berakibat pada kurangnya minat peserta didik untuk belajar materi pendidikan Agama Islam. Pendidik juga diharapkan untuk tidak terlalu fokus pada hasil belajar (out put), atau sekedar memenuhi target administrasi sesuai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Akan tetapi pendidik diharapkan fokus pada proses penyajian materi dengan menggunakan segala macam metode dan pendekatan yang selaras dengan materi pelajaran yang diajarkan. Kendala lainnya adalah waktu yang disediakan hanya dua jam pelajaran dengan muatan materi yang begitu padat dan memang penting, yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan kepribadian yang berbeda jauh dengan tuntutan terhadap mata pelajaran lainnya (Abdul Majid, Dian Handayani, 2006: 81).
Dede Rosyada berpendapat semua siswa pada jenjang Sekolah Menengah harus memperoleh perlakuan yang sama, dengan memperoleh pendidikan akademik untuk masuk ke perguruan tinggi serta memiliki keterampilan untuk masuk ke dunia kerja (Dede, 2004: 9). Hal ini berarti, segala aktivitas pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung di sekolah diarahkan untuk memberikan bekal kepada peserta didik baik bekal iman dan takwa maupun bekal ilmu pengetahuan dan teknologi sebelum memasuki perguruan tinggi ataupun dunia kerja.
Saat ini yang mendesak adalah bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para pendidik mata pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan metode-metode pembelajaran yang dapat memperluas pemahaman peserta didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya.
Salah satu metode pembelajaran yang dianjurkan digunakan dalam KTSP dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL). Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam tulisan ini akan disajikan, mengapa pembelajaran PAI menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual dan bagaimana mengimplementasikan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menegah Atas (SMA)
Dengan diterapkannya model ini, diharapkan dapat membantu para pendidik mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia yang benar-benar mempunyai kualitas keberagamaan yang kuat yang dihiasi dengan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian pokok pikiran di atas, maka peneliti menarik suatu permasalahan yang akan dijawab melalui penelitian ilmiah dan menjadi pembahasan dalam skripsi sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pembelajaran Pembelajaran Kontekstual ?
2. Bagaimana konsep pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas?
3. Bagaimana cara menerapkan Pembelajaran Kontekstual pada metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengantisipasi kesimpangsiuran dalam penelitian, maka peneliti memiliki sasaran yang hendak dicapai dengan maksud untuk mencari titik temu atau jawaban yang ada relevansinya dengan permasalahan di atas. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a) Untuk mengetahui konsep Pembelajaran Kontekstual
b) Untuk mengetahui metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang tepat di Sekolah Menengah Atas.
c) Untuk mengetahui bagaimana cara menerapkan model Pembelajaran Kontekstual pada mata pelajaran Pendidikan agama Islam di Sekolah Menengah Atas.
2. Kegunaan Penelitian
Selain penelitian ini memiliki tujuan atau sasaran, maka penelitian ini juga punya target atau manfaat penelitian yakni:
a. Agar hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya, khususnya bagi peneliti yang ingin mengkaji model-model pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas.
b. Sebagai karya ilmiah, skripsi ini diharapkan menjadi pelengkap khasanah intelektual kependidikan sebagai cerminan tanggung jawab akademik dan turut memikirkan upaya pemberdayaan pendidikan.
c. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi kajian ilmiah dalam akademis maupun umum.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Kontekstual
1. Pengertian
a. Pengertian Pembelajaran
Kata pembelajaran adalah terjemahan dari instruction, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-wholistik yang menempatkan peserta didik sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah peserta didik mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan pendidik dalam mengelola proses belajar mengajar, dari pendidik sebagai sumber belajar dan sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.
Mudjiono berpendapat bahwa :

Pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, ketrampilan dan sikap (Dimyati dan Mujiono, 2006: 157)
Ahmad Zayadi dan Abdul Majid mengatakan bahwa:

Istilah pembelajaran, bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan (Zayadi dan Majid, 2005: 8)


Pembelajaran adalah membelajarkan siswa untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak pendidik sebagai fasilitator, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik.
Dari uraian-uraian yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses yang dilakukan oleh seorang pendidik sebagai penyampai dan peserta didik sebagai penerima sehingga terjadi interaksi antara keduanya dan peserta didik mampu menguasai pelajaran yang disajikan. Atau dengan kata lain pembelajaran adalah kegiatan pendidik secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat peserta didik belajar secara aktif dengan memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki agar memperoleh sesuatu yang bermakna dan produktif.

b. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Berikut akan disajikan beberapa pengertian tentang Pembelajaran Kontekstual :
Ibnu Setiawan mengungkapkan dalam Elaine B. Johnson sebagai berikut berikut:
The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstances (Johnson, 2007 :19)

Artinya : Sistem pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan kultur kesehariannya.

Wina Sanjaya juga memaparkan bahwa :

Pembelajaran Kontekstual (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untauk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkanya dalam kehidupan mereka. (Sanjaya, 2006: 109)

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep pembelajaran yang membantu pendidik mengaitkan setiap materi yang dipelajari oleh peserta didik dengan kehidupan sehari-hari atau bidang-bidang tertentu, sehingga peserta didik dapat merasakan makna dari setiap materi pelajaran yang diterimanya dan mengimplementasikannya dalam berbagai aspek kehidupan. Peserta didik memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses mengonstruksi sendiri, sehingga belajar akan bermakna.


2. Latar Belakang Pengembangan Pembelajaran Kontekstual
Pendidik profesional mempunyai tugas ganda, selain sebagai pengajar juga sebagai pendidik. Proses belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh performance dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam menyajikan suatu materi pelajaran.
Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi dianggap gagal menghasilkan peserta didik yang aktif, kreatif, dan inovatif. Peserta didik hanya mampu mengingat materi pelajaran dalam jangka pendek akan tetapi lupa untuk mengimplementasikan substansi mata pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik tidak memiliki kompetensi untuk memecahkan persoalannya dalam menghadapi situasi baru dengan kata lain materi pelajaran yang diterima di sekolah tidak dapat diterjemahkan dalam kehidupan keseharian karena hanya berorientasi pada hasil bukan pada proses pembelajaran. Pendidik, sebagai motivator utama proses pembelajaran di sekolah cenderung menggunakan pola belajar konvensional-behaviorisme, yakni monoton dalam menyampaikan materi pelajaran sehingga yang terjadi hanya transfer ilmu pengetahuan semata, di mana peserta didik cenderung pasif dalam menerima informasi pelajaran. Pendidik juga tidak mampu memaksimalkan penggunaan media pembelajaran sebagai sarana penunjang dalam proses pengantar materi pelajaran. Akibatnya, peserta didik hanya mampu mengetahui materi pelajaran
Oleh karena itu perlu ada sebuah pendekatan pembelajaran bermakna yang fokus pada proses belajar bukan pada hasil belajar. Karena inti dari pembelajaran kontekstual adalah belajar untuk menemukan makna, maka terdapat paradigma khusus mengenai makna belajar dalam pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran Kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut :
a) Proses belajar
1) Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka.
2) Peserta didik belajar dari mengalami lalu mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh pendidik.
3) Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
4) Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
5) Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
6) Peserta didik perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
7) Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.
b) Transfer pengetahuan
1) Peserta belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
2) Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit)
3) Penting bagi peserta didik tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu
c) Lingkungan belajar
1) Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik. Dari pendidik akting di depan kelas, peserta didik menonton ke peserta didik akting bekerja dan berkarya, pendidik mengarahkan.
2) Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
3) Umpan balik amat penting bagi peserta didik, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
4) Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
d) Ciri-ciri Pembelajaran Kontekstual
1) Melakukan hubungan yang bermakna
2) Melakukan kegiatan yang signifikan
3) Belajar yang diatur sendiri
4) Saling bekerja sama
5) Berpikir kritis dan kreatif
6) Mengasuh/ memelihara pribadi peserta didik
7) Mencapai standar yang tinggi
8) Menggunakan penilaian yang autentik

e) Langkah Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual
1) Relating
Relating adalah belajar yang dikaitkan dengan konteks pengalaman dunia nyata. Proses belajar di sini lebih diarahkan kepada penemuan makna belajar yang secara langsung ditemukan oleh peserta didik dari kegiatan belajar yang mereka lakukan. Inilah yang dimaksud dengan belajar untuk menemukan makna. Di mana peserta didik fokus kepada proses belajar yang menjadi pilihan metodologid pendidik dalam memahami sebuah tema atau judul mata pelajaran.
2) Experiencing
Experiencing adalah belajar yang ditekankan kepada penggalian/ eksplorasi, penemuan/discovery, penciptaan/invention, applying, cooperating, dan transfering.

f) Prinsip-Prinsip Pembelajaran Kontekstual
1) Konstruktivisme
Dalam pandangan konstruktivisme, strategi pembelajaran lebih ditekankan dari pada hasil belajar, di mana pendidik diarahkan untuk fokus pada penyiapan strategi, teknik dan metode pengajaran. Sehingga pendidik memposisikan diri sebagai fasilitator pengajaran dan siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar.
2) Inquiri
Dalam pandangan inquiri, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Pendidik harus mempersiapkan rancangan aktivitas pembelajaran yang berorientasi pada menemukan makna dari materi pelajaranyang diajarkan. Siklus inkuiri terdiri dari :
a) Observasi atau pengamatan langsung
b) Bertanya
c) Mengajukan dugaan
d) Pengumpulan data
5) Penyimpulan
Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikkut :
a) Merumuskan masalah
b) Mengamati atau melakukan observasi
c) Menganalisis atau menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya.
d) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audient yang lain.
3) Questioning (bertanya)
Kegiatan questioning atau bertanya merupakan kegiatan yang tedapat di seluruh aktivitas belajar. Bahkan bertanya bagi peserta didik menjadi salah satu indikator kegiatan belajar-mengajar yang produktif. Kegiatan ini sangat penting karena pendidik akan mengatahui tingkat pengetahuan peserta didik, peserta didik akan mengkonfirmasikan apa yang sudah atau belum diketahui dan pendidik akan mengarahkan perhatian secara khusus pada aspek materi pelajaran ayng belum diketahui oleh peserta didik.
Dalam kegiatan yang produktif, kegiatan questioning atau bertanya berguna untuk :
1) Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis.
2) Mengecek pemahaman peserta didik
3) Membangkitkan respon kepada peserta didik
4) Mengetahui sejauhmana keinginan peserta didik
5) Mengetahui hal-hal yangsudah diketahui peserta didik
6) Memfokuskan perhatian peserta didik pada sesuatu yang dikehendaki pendidik
7) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari peserta didik
8) Menyegarkan kembali pengetahuan peserta didik
4) Learning Community (masyarakat belajar)
Konsep ini diarahkan agar pembelajaran yang ada merupakan sebuah proses kerjasama antara individu peserta didik. Pengetahuan yang mereka dapatkan adalah hasil kerjasama tim atau kelompok yang dibentuk oleh pendidik. Melalui interaksi, peserta didik diharapkan dapat mengkomunikasikan pengetahuannya kepada sesama anggota kelompok, sekaligus bersama-sama memecahkan masalah yang ada. Pendidik pada konsep ini berada pada posisi memberi dan melahirkan masalah utama untuk dikaji selanjutnya peserta didiklah yang kemudian melanjutkan kajian berdasarkan instruksi dari pendidik. Learning community atau masyarakat belajar juga mengajarkan kepada peserta didik untuk salaing mengenal perbedaan yang ada baik latar belakang sosial sesama peserta didik maupun tingkat pemahaman peserta didik yang satu dengan lainnya.


i. Modelling (pemodelan)
Modelling atau Pemodelan adalah metode penyajian materi berdasarkan model atau keterampilan tertentu. Metode ini lebih banyak digunakan untuk hal-hal praktis dan membutuhkan contoh yang dilihat secara langsung oleh peserta didik. Dalam pembelajaran kontekstual, pendidik bukan satu-satunya model, pendidik bisa saja melibatkan peserta didik untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya atau mendatangkan ahli dari luar seperti mendatangkan seseorang yang ahli dibidang stronomi untuk mempelajari tata cara penggunaan teropong bintang.
ii. Authentic Assesment
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Pendidik harus memiliki data yang menunjukkan tingkat perkembangan peserta didik, setelah itu pendidik mengambil tindakan berdasarkan hasil identifikasi tingkat perkembangan peserta didik. Authentic Assesment dilakukan bukan di akhir periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi pembelajaran, akan tetapi dilakukansecara terintegrasi atau tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
iii. Refleksi
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa yang lalu. Pendidik membantu peserta didik utnuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Indikator tercapainya metode ini adalah ketika peserta didik mampu melakukan refleksi pemikiran dari pengalaman belajarnya, baik yang sudah berlangsung ataupun sementara berlangsung sehingga peserta didik mampu menemukan pengetahuan baru berdasarkan konteks pembelajaran yang ada.

5) Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian

i. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan kesatuan bangsa (Kurikulum PAI, 3:2002). Majid dan Dian berpendapat bahwa pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan menganalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (2006: 132). Menurut Zakiah Darajat (1987:87) pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.
Tayar Yusuf (1986:35) mengartikan pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia bertakwa kepada Allah swt.
Lebih umum disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan BAB I pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Selanjutnya, pada ayat 2 disenutkan bahwa pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya (Himpunan Peraturan Perundang-undangan, 2009: 146).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah sebuah sistem pendidikan yang mengupayakan terbentuknya akhlak mulia peserta didik serta memiliki kecakapan hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Karena pendidikan agama Islam mencakup dua hal, (a) mendidik peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam, (b) mendidik peserta didik untuk mempelajari materi ajaran Islam yang sekaligus menjadi pengetahuan tentang ajaran Islam itu sendiri. Karena pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional, maka di dalamnya terdapat komponen-komponen yang antara satu dengan lainnya saling memiliki keterkaitan dan hubungan yang tak bisa dipisahkan. Komponen tersebut antara lain, kurikulum, pendidik, sarana dan prasarana pendidikan dan lingkungan belajar. Hal ini sekaligus menjadi faktor pendidikan yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan baik pendidikan secara umum maupun pendidikan Islam secara khusus.

b. Fungsi, Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam di SMA
i. Fungsi
Pendidikan Agama Islam di SMA berfungsi untuk:
(1) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga;
(2) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat;
(3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam;
(4) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari;
(5) Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan dihadapinya sehari-hari;
(6) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya;
(7) Penyaluran peserta didik untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

ii. Tujuan
Pendidikan Agama Islam di SMA bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
iii. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara:
1. Hubungan manusia dengan Allah SWT.
2. Hubungan manusia sesama manusia, dan
3. Hubungan manusia dengan makhluk lain (selain manusia) dan
lingkungan.
Adapun ruang lingkup bahan pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas berfokus pada aspek:
1) Al Quran/Al Hadits.
2) Keimanan.
3) Syari’ah.
4) Akhlak.
5) Tarikh.
iv. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Berdasarkan lima unsur pokok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA, maka pengelompokan per unsur standar kompetensi adalah sebagai berikut :

1. Al Quran
a. Membaca al-Quran dengan fasih (tadarrus) (dilaksanakan pada setiap awal pelajaran Pendidikan Agama Islam 5 – 10 menit)
b. membaca dan paham ayat-ayat tentang manusia dan tugasnya sebagai makluk serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
c. Membaca dan paham ayat-ayat tentang prinsip-prinsip beribadah serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
d. Membaca dan paham ayat-ayat tentang demokrasi serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
e. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang kompetisi serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
f. Membaca dan memahami ayat-ayat perintah menyantuni kaum lemah serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
g. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang perintah menjaga kelestarian lingkungan hidup serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
h. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang anjuran bertoleransi serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
i. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang etos kerja serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
j. Membaca dan memahami ayat-ayat yang berisi dorongan untuk mengembangkan IPTEK serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
2. Keimanan
a. Beriman kepada Allah swt dan menghayati sifat-sifat-Nya
b. Beriman kepada malaikat dan memahami fungsinya serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
c. Beriman kepada Rasul-Rasul Allah swt dan memahami fungsinya serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
d. Berman kepada Kitab-Kitab Allah swt dan memahami fungsinya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
e. Beriman kepada hari akhir dan memahami fungsinya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
f. Beriman kepada qadha dan qadar dan memahami fungsinya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
3. Akhlak
a. Terbiasa dengan perilaku dengan sifat-sifat terpuji
b. Terbiasa menghindari sifat-sifat tercela
c. Terbiasa bertatakrama
4. Fiqh/ Ibadah
a. Memahami sumber-sumber hukum Islam dan pembagiannya.
b. Memahami hikmah shalat dan mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
c. Memahami hikmah puasa dan mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
d. Memahami hukum Islam tentang zakat secara lebih mendalam dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
e. Memahami hikmah haji dan umrah serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
f. Memahami hukum Islam tentang wakaf dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
g. Memahami hukum Islam tentang riba dan mampu menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari
h. Memahami hukum Islam tentang kerjasama ekonomi dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
i. Memahami ketentuan hukum pengurusan jenazah dan mampu mempraktekkannya
j. Memahami hukum Islam tentang jinayat dan hudud dan mampu menghindari kejahatan dalam kehidupan sehari-hari
k. Memahami ketentuan tentang khutbah dan dakwah, dan mampu mempraktekkannya
l. Memahami hukum Islam tentang pernikahan dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
5. Tarikh
a. Memahami perkembangan Islam pada masa Umayyah dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari
b. Memahami perkembangan Islam pada masa Abbasiyah dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari
c. Memahami perkembangan Islam pada abad pertengahan dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilakau sehari-hari
d. Memahami perkembangan Islam di Indonesia dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari
e. Memahami perkembangan Islam di dunia dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari

c. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah mempunyai dasar yang kuat, dasar tersebut dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu :
i. Dasar Yuridis/ Hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam :
1. Dasar ideal, yaitu falsafah negara Republik Indonesia, pada sila pertama Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Dasar Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : a) Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa; b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
ii. Dasar Religius
Yang dimaksud dengan dasar religius agama dalam uraian ini, adalah dasar pelaksanaan pendidikan agama di SMA yang bersumber dari ajaran agama, dalam hal ini ajaran agama Islam.
Berkaitan dengan dasar agama dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam, maka dasar pertama dan utama ialah Al-Qur’an yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, karena di dalam Al-Qur’an sudah tercakup segala masalah hidup dan kehidupan manusia. Sedangkan dasar yang kedua adalah Hadist Rasulullah.
Dalam ayat Al-Qur’an petunjuk tentang pelaksanaan pendidikan agama Islam antara lain:
1) Dalam surah At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا 
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.
2) Dalam surah Ali Imran (3) ayat 104 yang berbunyi :

  •             
Terjemahnya:
Dan hendaknya di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menerus kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar: merekalah orang-orang yang beruntung.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa ayat dan hadits seperti yang di sebutkan di atas, memberikan pengertian bahwa dalam ajaran agama Islam memang adalah perintah untuk melaksanakan pendidikan agama.
iii. Dasar Psikologis
Yang dimaksud dengan dasar psikologis di sini adalah dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Filosofisnya bahwa manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tenteram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup. Pegangan hidup yang dimaksud adalah suatu ideologi yang menjadi tumpuan harapan ketika berhadapan dengan berbagai persoalan. Masalah-masalah yang mengitari kehidupan manusia sungguh beragam dan bermacam-macam. Oleh karena itulah, posisi agama sebagai pandangan hidup sangat strategis dalam mengantarkan manusia keluar dari permasalahan, termasuk yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam paradigma Islam, untuk menjadikan hati menjadi tenang dan tenteram adalah dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam surah Al Ra’du (13) ayat 28 :

            
Terjemahnya :
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.







BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative research), yakni suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi dan pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2009: 60). Penelitian ini akan difokuskan kepada analisis konsep metodologis Pembelajaran Kontekstual yang selanjutnya akan diarahkan pada proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas.
Berdasarkan fungsinya, penelitian ini merupakan jenis penelitian terapan (applied research) yaitu penelitian yang berkenaan dengan kenyataan praktis, penerapan dan pengembangan pengetahuan yang dihasilkan oleh penelitian dasar dalam kehidupan nyata (Sukmadinata, 2009: 15). Peneliti akan fokus pada objek pengetahuan praktis pembelajaran kontekstual selanjutnya akan menghubungkannya dengan variabel ke dua yakni metodologi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA sehingga hasil penelitian ini akan menjadi sebuah bahan studi terapan selanjutnya di bidang pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Karena peneliti telah memperoleh data awal berupa informasi tentang objek yang akan diteliti. Selanjutnya, peneliti akan memberikan gambaran terhadap objek penelitian secara naratif-kualitatif secara terbuka untuk kemudian dikembangkan.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (independent variable) yaitu variabel yang menjadi sebab berubahnya variabel lain. Dalam penulisan ini, yang menjadi variabel bebas adalah Pembelajaran Kontekstual sebab variabel ini mempengaruhi variabel lainnya.
2. Variabel Terikat (dependent variable) yaitu variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel lain (variabel bebas). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah metodologi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas.
C. Defenisi Operasional Variabel
Untuk memudahkan pemahaman dan menghindari kesalah pahaman dalam skripsi ini, maka peneliti mengemukakan defenisi operasional variabel yang dimaksud dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran kontekstual adalah konsep pembelajaran yang membantu pendidik mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah seperangkat metode yang digunakan oleh pendidik dalam menyajikan pelajaran Pendidikan Agama Islam yang konteks dengan peserta didik Sekolah Menengah Atas.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode library research (penelitian kepustakaan). Dalam hal ini peneliti menjadikan buku yang terkait dalam pembahasan skripsi sebagai sumber penelitian serta sumber lainnya yang relevan seperti dokumen, majalah, artikel, surat kabar dan sebagainya.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1. Kutipan langsung yaitu peneliti mengutip pendapat atau pemikiran dari suatu teori sesuai dengan aslinya tanpa mengubah redaksinya.
2. Kutipan tidak langsung yaitu peneliti mengutip pendapat atau pemikiran dari suatu teori dengan mengubah redaksinya, namun tidak mengurangi arti dan maknanya.
E. Teknik Analisis Data
Sedangkan dalam menganalisis data menggunakan metode sebagai berikut:
1. Teknik Induktif yaitu teknik analisis atau dengan melalui dari penjelasan yang bersifat khusus kemudian penarikan kesimpulan secara umum.
2. Teknik Deduktif yaitu analisis data dengan melalui penjelasan yang bersifat umum Kemudian menarik kesimpulan secara khusus.
3. Teknik Komparatif, teknik membandingkan antara pendapat-pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain kemudian mengambil suatu kesimpulan.









DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Terjemahannya, 2004, Departemen Agama Republik Indonesia

Abdul Majid, Dian Andayani, 2006, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), Cet. III, PT. Remaja Risdakarya, Bandung.

Alminiati, Mukhamad Fauzi, Yuwono, Komsiyah, Damar, Farida Himawati, Muhammad Junaidi, 2008, Paradigma Baru Pembelajaran Keagamaan di Madrasah Ibtidaiyyah, Cet. I, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta

Bruce Joice, Marsha Weil, Emily Calhoun, 2009, Models of Teaching ( Model-Model Pengajaran) edisi Terjemahan, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Darajat, Zakiah, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. VII, PT. Bumi Aksara, Jakarta

Elaine B. Jhonson, 2007, Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Cet. VII, Mizan Learning Centre, Bandung.

Hasbullah, 1999, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Muslich, Masnur, 2008, KTSP ( Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Cet III, PT. Bumi aksara, Jakarta.

Muhammad Ali, Muhammad Asrori, 2008, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Cet. IV, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Nadeak, Wilson, 1991, Memahami Anak Remaja, Cet. I, Kanisius Yogyakarta.

Sarwono, Sarlito Wirawan, 2007, Psikologi Remaja, Cet. II, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Cet. V, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Sujarwo, 2001, Metodologi Penelitian Sosial, Cet. I, CV. Mandar Maju, Bandung.

Trianto, 2008, Mendesain Pembelajaran Kontekstual di Kelas, Cet. I, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia NO.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Wipress. Jakarta.


Usman, Basyiruddin, 2002, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Cet, PT. Intermasa, Jakarta.

Wena, Made, 2009, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, Cet I, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

1 komentar: