Selasa, 06 April 2010

FESTIVAL ROCK INDONESIA VERSI LOG ZHELEBOUR (1984 - 2007)

FESTIVAL ROCK INDONESIA VERSI LOG ZHELEBOUR (1984 - 2007)

STOP.. Eksploitasi Agama


Harapan/ HOPE,.. Begitulah Obama menjadikannya sebagai tagline kampanyenya menuju kursi kepresidenan Amerika Serikat.

Ketika dihubungkan dengan kata Agama, maka akan tersirat makna yang menunjukkan bahwa Agama membawa harapan perubahan pada kehidupan manusia dan lingkungannya. Betapa tidak, ketika berangkat dari pengertian yang sangat sederhana bahwa agama adalah seperangkat nilai yang mengatur kehidupan manusia maka posisi agama sangat strategis dalam meberikan harapan bagi kehidupan manusia dan alam ini secara umum.
Politisasi Agama atas Nama HARAPAN..
Tidak sedikit dari para Kandidat Presiden/Gubernur/Bupati/Walikota menjadikan agama sebagai tagline utama kampanye mereka. Mungkin karena agamalah satu-satunya issu sentral yang mampu menyentuh ranah-ranah spriritual manusia. Pembodohan... Yah, pembodohan atas nama agama seriang terjadi disekitar kehidupan kita. Betapa banyak masyarakat yang karena ke”bodoh”annya memilih pemimpin atas nama agama dan janji-janji agamanya.
Lawan Komersialisasi Agama
Sudah saatnya menyatukan gerak langkah untuk melakukan perlawanan atas nama agama. Sudah saatnya kaum agamawan menghentikan gerakan eksploitasi kaum pragmatis di negeri ini yang senantiasa menjual ayat-ayat Tuhan dengan imbalan suara pemilih. Sangat naif kiranya, ketika corong-corong tuhan di muka bumi ini menelanjangi agama dengan segala macam argumentasi intelektual sejatinya, tetapi miskin dari makna kebenaran, kebenaran yang membawa kebahagiaan, kebahagiaan yang memenuhi harapan.

Pragmatisme di Seberang Jalan

Mempertanyakan sesungguhnya idealisme itu ada atau tidak?

Sebuah pertanyaan yang butuh rasionalisasi jawaban. Mahasiswa, Politisi, dan para Pejabat sebelum memasuki dunia baru berbasis realitas, komitmen idealisme itu dielu-elukan bahkan dijadikan sebagai tumbal atas sumpah serapahnya. Selama ini, tidak sedikit kaum cendekiawan yang duduk dalam posisi strategis entah itu di pemerintahan atau di parlemen keseleo bahkan terjerat kasus-kasus pragmatisme. Mungkin saja kebutuhan hidupnya melampau gaji bulanan yang diterima sehingga komitmen idealisnya kemudian ditinggal.
Ironi yang mengesankan.

Free Download MP3 Indonesia Gratis - Koleksi Lagu

Free Download MP3 Indonesia Gratis - Koleksi Lagu

Penerapan Pembelajaran Kontekstual Pada Mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di sekolah Menengah Atas



PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, sebagaimana dirumuskan dalam Tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab II pasal 3, bahwa :
“Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (Depdiknas RI, 2003 :3)
Berdasarkan UU Sisdiknas di atas maka salah salah satu ciri manusia berkualitas adalah mereka yang tangguh iman dan takwanya serta memiliki akhlak mulia. Dengan demikian salah satu ciri kompetensi keluaran pendidikan kita adalah ketangguhan dalam iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia. Kemuliaan akhlak dan budi pekerti menjadi indikator nyata tercapainya tujuan pendidikan nasional.
Bagi umat Islam, dan khususnya pendidikan Islam, kompetensi iman dan takwa serta memiliki akhlak mulia tersebut sudah lama disadari kepentingannya, dan sudah diimplementasikan dalam lembaga pendidikan Islam. Dalam pandangan Islam kompetensi imtak dan iptek serta akhlak mulia diperlukan oleh manusia dalam melaksanakan tugasnya sebagai khalifah di muka bumi. Bagaimana peran khalifah tersebut dapat dilaksanakan, diperlukan dua hal (1) landasan yang kuat berupa imtak dan akhlak mulia, dan (2) alat untuk melaksanakan perannya sebagai khalifah adalah iptek. Dengan demikian tidak mengenal dikotomi antara imtak dan iptek, namun justru sebaliknya perlu keterpaduan antara keduanya. Drs. Hasbullah mengatakan bahwa pendidikan Islam tidak menghendaki terjadinya dikotomi keilmuan, sebab dengan adanya sistem dikotomi menyebabkan sistem pendidikan Islam menjadi sekularistis, rasionalistis-empiris, intuitif dan materialistis (Hasbullah, 1999 : 7)
Berkaitan dengan pengembangan imtak dan akhlak mulia maka yang perlu dikaji lebih lanjut ialah peran pendidikan agama, sebagaimana dirumuskan dalam UU Sisdiknas. Nomor 20 Tahun 2003 BAB VI Bagian kesembilan pasal 30 ayat 2 bahwa :
Pendidikan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamanya dan/ atau menjadi ahli ilmu agama (Depdiknas RI, 2003: 10)
Pendidikan keagamaan merupakan salah satu bahan kajian dalam semua kurikulum disemua jenjang pendidikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak sampai Perguruan Tinggi. Dalam kurikulum yang terbaru yaitu Kurikulum Tingkat Satuan Pelajaran (KTSP) pada pendidikan dasar dan menengah, Pendidikan Agama merupakan salah satu mata pelajaran yang wajib diikuti oleh peserta didik bersama dengan Pendidikan Kewarganegaraan dan yang lainnya.
Tantangan yang dihadapi dalam Pendidikan Agama khususnya Pendidikan Agama Islam sebagai sebuah mata pelajaran adalah bagaimana mengimplementasikan pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana mengarahkan peserta didik agar memiliki kualitas iman, taqwa dan akhlak mulia, selanjutnya terimplementasi dalam kehidupan keseharian peserta didik. Dengan demikian materi pendidikan agama Islam bukan hanya mengajarkan pengetahuan tentang agama akan tetapi bagaimana membentuk kepribadian siswa agar memiliki keimanan dan ketakwaan yang kuat dan kehidupannya senantiasa dihiasi dengan akhlak yang mulia dimanapun mereka berada, dan dalam posisi apapun mereka bekerja. Kendala lainnya adalah lemahnya tingkat kreatifitas para pendidik mata pelajaran Pendidikan Agama Islam karena sebagaian besar masih menganut paradigma pembelajaran konvensionalistik, yakni pola belajar tradisonal yang cenderung menjadikan peserta didik sebagai objek proses pembelajaran dan pendidik menjadi satu-satunya sumber informasi dan pengetahuan. Akibatnya akan terjadi pola belajar teacher centered di mana pendidik memonopoli segala aktivitas belajar dengan menggunakan metode yang monoton tanpa adanya improvisasi metodologi penyajian materi yang berakibat pada kurangnya minat peserta didik untuk belajar materi pendidikan Agama Islam. Pendidik juga diharapkan untuk tidak terlalu fokus pada hasil belajar (out put), atau sekedar memenuhi target administrasi sesuai petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis. Akan tetapi pendidik diharapkan fokus pada proses penyajian materi dengan menggunakan segala macam metode dan pendekatan yang selaras dengan materi pelajaran yang diajarkan. Kendala lainnya adalah waktu yang disediakan hanya dua jam pelajaran dengan muatan materi yang begitu padat dan memang penting, yakni menuntut pemantapan pengetahuan hingga terbentuk watak dan kepribadian yang berbeda jauh dengan tuntutan terhadap mata pelajaran lainnya (Abdul Majid, Dian Handayani, 2006: 81).
Dede Rosyada berpendapat semua siswa pada jenjang Sekolah Menengah harus memperoleh perlakuan yang sama, dengan memperoleh pendidikan akademik untuk masuk ke perguruan tinggi serta memiliki keterampilan untuk masuk ke dunia kerja (Dede, 2004: 9). Hal ini berarti, segala aktivitas pendidikan dan pembelajaran yang berlangsung di sekolah diarahkan untuk memberikan bekal kepada peserta didik baik bekal iman dan takwa maupun bekal ilmu pengetahuan dan teknologi sebelum memasuki perguruan tinggi ataupun dunia kerja.
Saat ini yang mendesak adalah bagaimana usaha-usaha yang harus dilakukan oleh para pendidik mata pelajaran Pendidikan Agama Islam untuk mengembangkan metode-metode pembelajaran yang dapat memperluas pemahaman peserta didik mengenai ajaran-ajaran agamanya, mendorong mereka untuk mengamalkannya dan sekaligus dapat membentuk akhlak dan kepribadiannya.
Salah satu metode pembelajaran yang dianjurkan digunakan dalam KTSP dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam adalah Pembelajaran Kontekstual atau Contextual Teaching Learning (CTL). Sehubungan dengan hal tersebut maka dalam tulisan ini akan disajikan, mengapa pembelajaran PAI menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual dan bagaimana mengimplementasikan pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menegah Atas (SMA)
Dengan diterapkannya model ini, diharapkan dapat membantu para pendidik mata pelajaran Pendidikan Agama Islam dalam mengarahkan peserta didik untuk menjadi manusia yang benar-benar mempunyai kualitas keberagamaan yang kuat yang dihiasi dengan akhlak yang mulia dalam kehidupan sehari-hari.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian pokok pikiran di atas, maka peneliti menarik suatu permasalahan yang akan dijawab melalui penelitian ilmiah dan menjadi pembahasan dalam skripsi sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep pembelajaran Pembelajaran Kontekstual ?
2. Bagaimana konsep pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas?
3. Bagaimana cara menerapkan Pembelajaran Kontekstual pada metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Untuk mengantisipasi kesimpangsiuran dalam penelitian, maka peneliti memiliki sasaran yang hendak dicapai dengan maksud untuk mencari titik temu atau jawaban yang ada relevansinya dengan permasalahan di atas. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
a) Untuk mengetahui konsep Pembelajaran Kontekstual
b) Untuk mengetahui metode pembelajaran Pendidikan Agama Islam yang tepat di Sekolah Menengah Atas.
c) Untuk mengetahui bagaimana cara menerapkan model Pembelajaran Kontekstual pada mata pelajaran Pendidikan agama Islam di Sekolah Menengah Atas.
2. Kegunaan Penelitian
Selain penelitian ini memiliki tujuan atau sasaran, maka penelitian ini juga punya target atau manfaat penelitian yakni:
a. Agar hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya, khususnya bagi peneliti yang ingin mengkaji model-model pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas.
b. Sebagai karya ilmiah, skripsi ini diharapkan menjadi pelengkap khasanah intelektual kependidikan sebagai cerminan tanggung jawab akademik dan turut memikirkan upaya pemberdayaan pendidikan.
c. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi kajian ilmiah dalam akademis maupun umum.





BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Kontekstual
1. Pengertian
a. Pengertian Pembelajaran
Kata pembelajaran adalah terjemahan dari instruction, yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh aliran psikologi kognitif-wholistik yang menempatkan peserta didik sebagai sumber dari kegiatan. Selain itu, istilah ini juga dipengaruhi oleh perkembangan teknologi yang diasumsikan dapat mempermudah peserta didik mempelajari segala sesuatu lewat berbagai macam media seperti bahan-bahan cetak, program televisi, gambar, audio, dan lain sebagainya, sehingga semua itu mendorong terjadinya perubahan peranan pendidik dalam mengelola proses belajar mengajar, dari pendidik sebagai sumber belajar dan sebagai fasilitator dalam belajar mengajar.
Mudjiono berpendapat bahwa :

Pembelajaran adalah proses yang diselenggarakan oleh guru untuk membelajarkan siswa dalam belajar bagaimana belajar memperoleh dan memproses pengetahuan, ketrampilan dan sikap (Dimyati dan Mujiono, 2006: 157)
Ahmad Zayadi dan Abdul Majid mengatakan bahwa:

Istilah pembelajaran, bermakna sebagai upaya untuk membelajarkan seseorang atau kelompok orang melalui berbagai upaya (effort) dan berbagai strategi, metode dan pendekatan ke arah pencapaian tujuan yang telah direncanakan (Zayadi dan Majid, 2005: 8)


Pembelajaran adalah membelajarkan siswa untuk mendapatkan informasi yang berhubungan dengan pendidikan. Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh pihak pendidik sebagai fasilitator, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik.
Dari uraian-uraian yang dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses yang dilakukan oleh seorang pendidik sebagai penyampai dan peserta didik sebagai penerima sehingga terjadi interaksi antara keduanya dan peserta didik mampu menguasai pelajaran yang disajikan. Atau dengan kata lain pembelajaran adalah kegiatan pendidik secara terprogram dalam desain instruksional untuk membuat peserta didik belajar secara aktif dengan memberdayakan seluruh potensi yang dimiliki agar memperoleh sesuatu yang bermakna dan produktif.

b. Pengertian Pembelajaran Kontekstual
Berikut akan disajikan beberapa pengertian tentang Pembelajaran Kontekstual :
Ibnu Setiawan mengungkapkan dalam Elaine B. Johnson sebagai berikut berikut:
The CTL system is an educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with the context of their personal, social, and cultural circumstances (Johnson, 2007 :19)

Artinya : Sistem pembelajaran kontekstual merupakan suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam bahan pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupan mereka sehari-hari yaitu dengan konteks lingkungan pribadinya, sosialnya, dan kultur kesehariannya.

Wina Sanjaya juga memaparkan bahwa :

Pembelajaran Kontekstual (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untauk dapat menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkanya dalam kehidupan mereka. (Sanjaya, 2006: 109)

Dari pengertian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep pembelajaran yang membantu pendidik mengaitkan setiap materi yang dipelajari oleh peserta didik dengan kehidupan sehari-hari atau bidang-bidang tertentu, sehingga peserta didik dapat merasakan makna dari setiap materi pelajaran yang diterimanya dan mengimplementasikannya dalam berbagai aspek kehidupan. Peserta didik memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dari konteks yang terbatas sedikit demi sedikit, dan dari proses mengonstruksi sendiri, sehingga belajar akan bermakna.


2. Latar Belakang Pengembangan Pembelajaran Kontekstual
Pendidik profesional mempunyai tugas ganda, selain sebagai pengajar juga sebagai pendidik. Proses belajar peserta didik sangat dipengaruhi oleh performance dan metode yang digunakan oleh pendidik dalam menyajikan suatu materi pelajaran.
Pembelajaran yang berorientasi pada penguasaan materi dianggap gagal menghasilkan peserta didik yang aktif, kreatif, dan inovatif. Peserta didik hanya mampu mengingat materi pelajaran dalam jangka pendek akan tetapi lupa untuk mengimplementasikan substansi mata pelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Peserta didik tidak memiliki kompetensi untuk memecahkan persoalannya dalam menghadapi situasi baru dengan kata lain materi pelajaran yang diterima di sekolah tidak dapat diterjemahkan dalam kehidupan keseharian karena hanya berorientasi pada hasil bukan pada proses pembelajaran. Pendidik, sebagai motivator utama proses pembelajaran di sekolah cenderung menggunakan pola belajar konvensional-behaviorisme, yakni monoton dalam menyampaikan materi pelajaran sehingga yang terjadi hanya transfer ilmu pengetahuan semata, di mana peserta didik cenderung pasif dalam menerima informasi pelajaran. Pendidik juga tidak mampu memaksimalkan penggunaan media pembelajaran sebagai sarana penunjang dalam proses pengantar materi pelajaran. Akibatnya, peserta didik hanya mampu mengetahui materi pelajaran
Oleh karena itu perlu ada sebuah pendekatan pembelajaran bermakna yang fokus pada proses belajar bukan pada hasil belajar. Karena inti dari pembelajaran kontekstual adalah belajar untuk menemukan makna, maka terdapat paradigma khusus mengenai makna belajar dalam pembelajaran kontekstual.
Pembelajaran Kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut :
a) Proses belajar
1) Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik harus mengkontruksi pengetahuan di benak mereka.
2) Peserta didik belajar dari mengalami lalu mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, dan bukan diberi begitu saja oleh pendidik.
3) Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki sesorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
4) Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
5) Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
6) Peserta didik perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
7) Proses belajar dapat mengubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan sesorang.
b) Transfer pengetahuan
1) Peserta belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
2) Keterampilan dan pengetahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit)
3) Penting bagi peserta didik tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana ia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu
c) Lingkungan belajar
1) Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik. Dari pendidik akting di depan kelas, peserta didik menonton ke peserta didik akting bekerja dan berkarya, pendidik mengarahkan.
2) Pengajaran harus berpusat pada bagaimana cara peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dibandingkan hasilnya.
3) Umpan balik amat penting bagi peserta didik, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
4) Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
d) Ciri-ciri Pembelajaran Kontekstual
1) Melakukan hubungan yang bermakna
2) Melakukan kegiatan yang signifikan
3) Belajar yang diatur sendiri
4) Saling bekerja sama
5) Berpikir kritis dan kreatif
6) Mengasuh/ memelihara pribadi peserta didik
7) Mencapai standar yang tinggi
8) Menggunakan penilaian yang autentik

e) Langkah Pelaksanaan Pembelajaran Kontekstual
1) Relating
Relating adalah belajar yang dikaitkan dengan konteks pengalaman dunia nyata. Proses belajar di sini lebih diarahkan kepada penemuan makna belajar yang secara langsung ditemukan oleh peserta didik dari kegiatan belajar yang mereka lakukan. Inilah yang dimaksud dengan belajar untuk menemukan makna. Di mana peserta didik fokus kepada proses belajar yang menjadi pilihan metodologid pendidik dalam memahami sebuah tema atau judul mata pelajaran.
2) Experiencing
Experiencing adalah belajar yang ditekankan kepada penggalian/ eksplorasi, penemuan/discovery, penciptaan/invention, applying, cooperating, dan transfering.

f) Prinsip-Prinsip Pembelajaran Kontekstual
1) Konstruktivisme
Dalam pandangan konstruktivisme, strategi pembelajaran lebih ditekankan dari pada hasil belajar, di mana pendidik diarahkan untuk fokus pada penyiapan strategi, teknik dan metode pengajaran. Sehingga pendidik memposisikan diri sebagai fasilitator pengajaran dan siswa membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar.
2) Inquiri
Dalam pandangan inquiri, pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh siswa bukan dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi hasil dari menemukan sendiri. Pendidik harus mempersiapkan rancangan aktivitas pembelajaran yang berorientasi pada menemukan makna dari materi pelajaranyang diajarkan. Siklus inkuiri terdiri dari :
a) Observasi atau pengamatan langsung
b) Bertanya
c) Mengajukan dugaan
d) Pengumpulan data
5) Penyimpulan
Langkah-langkah kegiatan inkuiri adalah sebagai berikkut :
a) Merumuskan masalah
b) Mengamati atau melakukan observasi
c) Menganalisis atau menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel, dan karya lainnya.
d) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, guru atau audient yang lain.
3) Questioning (bertanya)
Kegiatan questioning atau bertanya merupakan kegiatan yang tedapat di seluruh aktivitas belajar. Bahkan bertanya bagi peserta didik menjadi salah satu indikator kegiatan belajar-mengajar yang produktif. Kegiatan ini sangat penting karena pendidik akan mengatahui tingkat pengetahuan peserta didik, peserta didik akan mengkonfirmasikan apa yang sudah atau belum diketahui dan pendidik akan mengarahkan perhatian secara khusus pada aspek materi pelajaran ayng belum diketahui oleh peserta didik.
Dalam kegiatan yang produktif, kegiatan questioning atau bertanya berguna untuk :
1) Menggali informasi, baik administrasi maupun akademis.
2) Mengecek pemahaman peserta didik
3) Membangkitkan respon kepada peserta didik
4) Mengetahui sejauhmana keinginan peserta didik
5) Mengetahui hal-hal yangsudah diketahui peserta didik
6) Memfokuskan perhatian peserta didik pada sesuatu yang dikehendaki pendidik
7) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari peserta didik
8) Menyegarkan kembali pengetahuan peserta didik
4) Learning Community (masyarakat belajar)
Konsep ini diarahkan agar pembelajaran yang ada merupakan sebuah proses kerjasama antara individu peserta didik. Pengetahuan yang mereka dapatkan adalah hasil kerjasama tim atau kelompok yang dibentuk oleh pendidik. Melalui interaksi, peserta didik diharapkan dapat mengkomunikasikan pengetahuannya kepada sesama anggota kelompok, sekaligus bersama-sama memecahkan masalah yang ada. Pendidik pada konsep ini berada pada posisi memberi dan melahirkan masalah utama untuk dikaji selanjutnya peserta didiklah yang kemudian melanjutkan kajian berdasarkan instruksi dari pendidik. Learning community atau masyarakat belajar juga mengajarkan kepada peserta didik untuk salaing mengenal perbedaan yang ada baik latar belakang sosial sesama peserta didik maupun tingkat pemahaman peserta didik yang satu dengan lainnya.


i. Modelling (pemodelan)
Modelling atau Pemodelan adalah metode penyajian materi berdasarkan model atau keterampilan tertentu. Metode ini lebih banyak digunakan untuk hal-hal praktis dan membutuhkan contoh yang dilihat secara langsung oleh peserta didik. Dalam pembelajaran kontekstual, pendidik bukan satu-satunya model, pendidik bisa saja melibatkan peserta didik untuk memodelkan sesuatu berdasarkan pengalaman yang diketahuinya atau mendatangkan ahli dari luar seperti mendatangkan seseorang yang ahli dibidang stronomi untuk mempelajari tata cara penggunaan teropong bintang.
ii. Authentic Assesment
Assesment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran perkembangan belajar peserta didik. Pendidik harus memiliki data yang menunjukkan tingkat perkembangan peserta didik, setelah itu pendidik mengambil tindakan berdasarkan hasil identifikasi tingkat perkembangan peserta didik. Authentic Assesment dilakukan bukan di akhir periode pembelajaran seperti pada kegiatan evaluasi pembelajaran, akan tetapi dilakukansecara terintegrasi atau tak terpisahkan dari kegiatan pembelajaran.
iii. Refleksi
Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru dipelajari atau berpikir ke belakang tentang apa-apa yang sudah dilakukan di masa yang lalu. Pendidik membantu peserta didik utnuk membuat hubungan-hubungan antara pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Indikator tercapainya metode ini adalah ketika peserta didik mampu melakukan refleksi pemikiran dari pengalaman belajarnya, baik yang sudah berlangsung ataupun sementara berlangsung sehingga peserta didik mampu menemukan pengetahuan baru berdasarkan konteks pembelajaran yang ada.

5) Pembelajaran Pendidikan Agama Islam
a. Pengertian

i. Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran agama Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan kesatuan bangsa (Kurikulum PAI, 3:2002). Majid dan Dian berpendapat bahwa pendidikan agama Islam merupakan usaha sadar yang dilakukan pendidik dalam rangka mempersiapkan peserta didik untuk meyakini, memahami dan menganalkan ajaran Islam melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau pelatihan yang telah ditentukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (2006: 132). Menurut Zakiah Darajat (1987:87) pendidikan agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan Islam sebagai pandangan hidup.
Tayar Yusuf (1986:35) mengartikan pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar generasi tua untuk mengalihkan pengalaman, pengetahuan, kecakapan dan keterampilan kepada generasi muda agar kelak menjadi manusia bertakwa kepada Allah swt.
Lebih umum disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan BAB I pasal 1 ayat 1 disebutkan bahwa pendidikan agama adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/ kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Selanjutnya, pada ayat 2 disenutkan bahwa pendidikan keagamaan adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama dan atau menjadi ahli ilmu agama dan mengamalkan ajaran agamanya (Himpunan Peraturan Perundang-undangan, 2009: 146).
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah sebuah sistem pendidikan yang mengupayakan terbentuknya akhlak mulia peserta didik serta memiliki kecakapan hidup berdasarkan nilai-nilai Islam. Karena pendidikan agama Islam mencakup dua hal, (a) mendidik peserta didik untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai atau akhlak Islam, (b) mendidik peserta didik untuk mempelajari materi ajaran Islam yang sekaligus menjadi pengetahuan tentang ajaran Islam itu sendiri. Karena pendidikan Islam merupakan subsistem dari sistem pendidikan nasional, maka di dalamnya terdapat komponen-komponen yang antara satu dengan lainnya saling memiliki keterkaitan dan hubungan yang tak bisa dipisahkan. Komponen tersebut antara lain, kurikulum, pendidik, sarana dan prasarana pendidikan dan lingkungan belajar. Hal ini sekaligus menjadi faktor pendidikan yang mendukung tercapainya tujuan pendidikan baik pendidikan secara umum maupun pendidikan Islam secara khusus.

b. Fungsi, Tujuan dan Ruang Lingkup Pendidikan Agama Islam di SMA
i. Fungsi
Pendidikan Agama Islam di SMA berfungsi untuk:
(1) Pengembangan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT serta akhlak mulia peserta didik seoptimal mungkin, yang telah ditanamkan lebih dahulu dalam lingkungan keluarga;
(2) Penanaman nilai ajaran Islam sebagai pedoman mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat;
(3) Penyesuaian mental peserta didik terhadap lingkungan fisik dan sosial melalui pendidikan agama Islam;
(4) Perbaikan kesalahan-kesalahan, kelemahan-kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pengamalan ajaran agama Islam dalam kehidupan sehari-hari;
(5) Pencegahan peserta didik dari hal-hal negatif budaya asing yang akan dihadapinya sehari-hari;
(6) Pengajaran tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum (alam nyata dan nir-nyata), sistem dan fungsionalnya;
(7) Penyaluran peserta didik untuk mendalami pendidikan agama ke lembaga pendidikan yang lebih tinggi.

ii. Tujuan
Pendidikan Agama Islam di SMA bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta pengalaman peserta didik tentang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya kepada Allah SWT serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
iii. Ruang Lingkup
Ruang lingkup Pendidikan Agama Islam meliputi keserasian, keselarasan, dan keseimbangan antara:
1. Hubungan manusia dengan Allah SWT.
2. Hubungan manusia sesama manusia, dan
3. Hubungan manusia dengan makhluk lain (selain manusia) dan
lingkungan.
Adapun ruang lingkup bahan pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas berfokus pada aspek:
1) Al Quran/Al Hadits.
2) Keimanan.
3) Syari’ah.
4) Akhlak.
5) Tarikh.
iv. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas (SMA)
Berdasarkan lima unsur pokok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA, maka pengelompokan per unsur standar kompetensi adalah sebagai berikut :

1. Al Quran
a. Membaca al-Quran dengan fasih (tadarrus) (dilaksanakan pada setiap awal pelajaran Pendidikan Agama Islam 5 – 10 menit)
b. membaca dan paham ayat-ayat tentang manusia dan tugasnya sebagai makluk serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
c. Membaca dan paham ayat-ayat tentang prinsip-prinsip beribadah serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
d. Membaca dan paham ayat-ayat tentang demokrasi serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
e. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang kompetisi serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
f. Membaca dan memahami ayat-ayat perintah menyantuni kaum lemah serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
g. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang perintah menjaga kelestarian lingkungan hidup serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
h. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang anjuran bertoleransi serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
i. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang etos kerja serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
j. Membaca dan memahami ayat-ayat yang berisi dorongan untuk mengembangkan IPTEK serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
2. Keimanan
a. Beriman kepada Allah swt dan menghayati sifat-sifat-Nya
b. Beriman kepada malaikat dan memahami fungsinya serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
c. Beriman kepada Rasul-Rasul Allah swt dan memahami fungsinya serta menerapkan dalam kehidupan sehari-hari
d. Berman kepada Kitab-Kitab Allah swt dan memahami fungsinya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
e. Beriman kepada hari akhir dan memahami fungsinya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
f. Beriman kepada qadha dan qadar dan memahami fungsinya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
3. Akhlak
a. Terbiasa dengan perilaku dengan sifat-sifat terpuji
b. Terbiasa menghindari sifat-sifat tercela
c. Terbiasa bertatakrama
4. Fiqh/ Ibadah
a. Memahami sumber-sumber hukum Islam dan pembagiannya.
b. Memahami hikmah shalat dan mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
c. Memahami hikmah puasa dan mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
d. Memahami hukum Islam tentang zakat secara lebih mendalam dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari
e. Memahami hikmah haji dan umrah serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
f. Memahami hukum Islam tentang wakaf dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
g. Memahami hukum Islam tentang riba dan mampu menghindarinya dalam kehidupan sehari-hari
h. Memahami hukum Islam tentang kerjasama ekonomi dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
i. Memahami ketentuan hukum pengurusan jenazah dan mampu mempraktekkannya
j. Memahami hukum Islam tentang jinayat dan hudud dan mampu menghindari kejahatan dalam kehidupan sehari-hari
k. Memahami ketentuan tentang khutbah dan dakwah, dan mampu mempraktekkannya
l. Memahami hukum Islam tentang pernikahan dan hikmahnya serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari
5. Tarikh
a. Memahami perkembangan Islam pada masa Umayyah dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari
b. Memahami perkembangan Islam pada masa Abbasiyah dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari
c. Memahami perkembangan Islam pada abad pertengahan dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilakau sehari-hari
d. Memahami perkembangan Islam di Indonesia dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari
e. Memahami perkembangan Islam di dunia dan mampu menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari

c. Dasar-dasar Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam
Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam di sekolah mempunyai dasar yang kuat, dasar tersebut dapat ditinjau dari beberapa segi, yaitu :
i. Dasar Yuridis/ Hukum
Dasar pelaksanaan pendidikan agama berasal dari perundang-undangan yang secara tidak langsung dapat menjadi pegangan dalam melaksanakan pendidikan agama di sekolah secara formal. Dasar yuridis formal tersebut terdiri dari tiga macam :
1. Dasar ideal, yaitu falsafah negara Republik Indonesia, pada sila pertama Pancasila : Ketuhanan Yang Maha Esa
2. Dasar Konstitusional, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dalam Bab XI pasal 29 ayat 1 dan 2 yang berbunyi : a) Negara berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa; b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu.
ii. Dasar Religius
Yang dimaksud dengan dasar religius agama dalam uraian ini, adalah dasar pelaksanaan pendidikan agama di SMA yang bersumber dari ajaran agama, dalam hal ini ajaran agama Islam.
Berkaitan dengan dasar agama dalam pelaksanaan pendidikan agama Islam, maka dasar pertama dan utama ialah Al-Qur’an yang tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, karena di dalam Al-Qur’an sudah tercakup segala masalah hidup dan kehidupan manusia. Sedangkan dasar yang kedua adalah Hadist Rasulullah.
Dalam ayat Al-Qur’an petunjuk tentang pelaksanaan pendidikan agama Islam antara lain:
1) Dalam surah At Tahrim (66) ayat 6 berbunyi :
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا 
Terjemahnya:
Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.
2) Dalam surah Ali Imran (3) ayat 104 yang berbunyi :

  •             
Terjemahnya:
Dan hendaknya di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menerus kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar: merekalah orang-orang yang beruntung.
Dengan demikian dapat di katakan bahwa ayat dan hadits seperti yang di sebutkan di atas, memberikan pengertian bahwa dalam ajaran agama Islam memang adalah perintah untuk melaksanakan pendidikan agama.
iii. Dasar Psikologis
Yang dimaksud dengan dasar psikologis di sini adalah dasar yang berhubungan dengan aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Filosofisnya bahwa manusia, baik sebagai makhluk individu maupun sebagai makhluk sosial, dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tenteram sehingga memerlukan adanya pegangan hidup. Pegangan hidup yang dimaksud adalah suatu ideologi yang menjadi tumpuan harapan ketika berhadapan dengan berbagai persoalan. Masalah-masalah yang mengitari kehidupan manusia sungguh beragam dan bermacam-macam. Oleh karena itulah, posisi agama sebagai pandangan hidup sangat strategis dalam mengantarkan manusia keluar dari permasalahan, termasuk yang berhubungan dengan jiwa manusia. Dalam paradigma Islam, untuk menjadikan hati menjadi tenang dan tenteram adalah dengan jalan mendekatkan diri kepada Allah swt. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt. dalam surah Al Ra’du (13) ayat 28 :

            
Terjemahnya :
(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.







BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif (qualitative research), yakni suatu penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan dan menganalisis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap, kepercayaan, persepsi dan pemikiran orang secara individual maupun kelompok (Sukmadinata, 2009: 60). Penelitian ini akan difokuskan kepada analisis konsep metodologis Pembelajaran Kontekstual yang selanjutnya akan diarahkan pada proses pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas.
Berdasarkan fungsinya, penelitian ini merupakan jenis penelitian terapan (applied research) yaitu penelitian yang berkenaan dengan kenyataan praktis, penerapan dan pengembangan pengetahuan yang dihasilkan oleh penelitian dasar dalam kehidupan nyata (Sukmadinata, 2009: 15). Peneliti akan fokus pada objek pengetahuan praktis pembelajaran kontekstual selanjutnya akan menghubungkannya dengan variabel ke dua yakni metodologi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di SMA sehingga hasil penelitian ini akan menjadi sebuah bahan studi terapan selanjutnya di bidang pendidikan, khususnya pendidikan Islam.
Sifat penelitian ini adalah deskriptif. Karena peneliti telah memperoleh data awal berupa informasi tentang objek yang akan diteliti. Selanjutnya, peneliti akan memberikan gambaran terhadap objek penelitian secara naratif-kualitatif secara terbuka untuk kemudian dikembangkan.
B. Variabel Penelitian
1. Variabel Bebas (independent variable) yaitu variabel yang menjadi sebab berubahnya variabel lain. Dalam penulisan ini, yang menjadi variabel bebas adalah Pembelajaran Kontekstual sebab variabel ini mempengaruhi variabel lainnya.
2. Variabel Terikat (dependent variable) yaitu variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat karena adanya variabel lain (variabel bebas). Variabel terikat dalam penelitian ini adalah metodologi pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas.
C. Defenisi Operasional Variabel
Untuk memudahkan pemahaman dan menghindari kesalah pahaman dalam skripsi ini, maka peneliti mengemukakan defenisi operasional variabel yang dimaksud dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran kontekstual adalah konsep pembelajaran yang membantu pendidik mengaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi peserta didik untuk membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-hari.
2. Pembelajaran Pendidikan Agama Islam di Sekolah Menengah Atas (SMA) adalah seperangkat metode yang digunakan oleh pendidik dalam menyajikan pelajaran Pendidikan Agama Islam yang konteks dengan peserta didik Sekolah Menengah Atas.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dipergunakan dalam menyusun skripsi ini adalah metode library research (penelitian kepustakaan). Dalam hal ini peneliti menjadikan buku yang terkait dalam pembahasan skripsi sebagai sumber penelitian serta sumber lainnya yang relevan seperti dokumen, majalah, artikel, surat kabar dan sebagainya.
Dalam hal ini, peneliti menggunakan metode sebagai berikut:
1. Kutipan langsung yaitu peneliti mengutip pendapat atau pemikiran dari suatu teori sesuai dengan aslinya tanpa mengubah redaksinya.
2. Kutipan tidak langsung yaitu peneliti mengutip pendapat atau pemikiran dari suatu teori dengan mengubah redaksinya, namun tidak mengurangi arti dan maknanya.
E. Teknik Analisis Data
Sedangkan dalam menganalisis data menggunakan metode sebagai berikut:
1. Teknik Induktif yaitu teknik analisis atau dengan melalui dari penjelasan yang bersifat khusus kemudian penarikan kesimpulan secara umum.
2. Teknik Deduktif yaitu analisis data dengan melalui penjelasan yang bersifat umum Kemudian menarik kesimpulan secara khusus.
3. Teknik Komparatif, teknik membandingkan antara pendapat-pendapat yang berbeda antara satu dengan yang lain kemudian mengambil suatu kesimpulan.









DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an dan Terjemahannya, 2004, Departemen Agama Republik Indonesia

Abdul Majid, Dian Andayani, 2006, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi (Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), Cet. III, PT. Remaja Risdakarya, Bandung.

Alminiati, Mukhamad Fauzi, Yuwono, Komsiyah, Damar, Farida Himawati, Muhammad Junaidi, 2008, Paradigma Baru Pembelajaran Keagamaan di Madrasah Ibtidaiyyah, Cet. I, Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, Jakarta

Bruce Joice, Marsha Weil, Emily Calhoun, 2009, Models of Teaching ( Model-Model Pengajaran) edisi Terjemahan, Cet. I, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Darajat, Zakiah, 2008, Ilmu Pendidikan Islam, Cet. VII, PT. Bumi Aksara, Jakarta

Elaine B. Jhonson, 2007, Contextual Teaching and Learning : Menjadikan Kegiatan Belajar-Mengajar Mengasyikkan dan Bermakna, Cet. VII, Mizan Learning Centre, Bandung.

Hasbullah, 1999, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Cet. I, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Muslich, Masnur, 2008, KTSP ( Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) Dasar Pemahaman dan Pengembangan, Cet III, PT. Bumi aksara, Jakarta.

Muhammad Ali, Muhammad Asrori, 2008, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Cet. IV, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

Nadeak, Wilson, 1991, Memahami Anak Remaja, Cet. I, Kanisius Yogyakarta.

Sarwono, Sarlito Wirawan, 2007, Psikologi Remaja, Cet. II, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sukmadinata, Nana Syaodih, 2009, Metode Penelitian Pendidikan, Cet. V, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Sujarwo, 2001, Metodologi Penelitian Sosial, Cet. I, CV. Mandar Maju, Bandung.

Trianto, 2008, Mendesain Pembelajaran Kontekstual di Kelas, Cet. I, Cerdas Pustaka Publisher, Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia NO.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. 2006. Wipress. Jakarta.


Usman, Basyiruddin, 2002, Metodologi Pembelajaran Agama Islam, Cet, PT. Intermasa, Jakarta.

Wena, Made, 2009, Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer: Suatu Tinjauan Konseptual Operasional, Cet I, PT. Bumi Aksara, Jakarta.

ANALISIS KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT TERHADAP PENGUJIAN PERATURAN DAERAH (EXECUTIVE REVIEW)


A. Latar Belakang
Negara Republik Indonesia merupakan negara yang berdaulat dan menjadikan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar konstitusi dalam menjalankan roda kehidupan kenegaraan. Undang-Undang tersebut tadi mengatur segala bentuk dan aktivitas yang dilakukan oleh seluruh warga negara dan lembaga-lembaga negara. Berikut juga, dalam konstitusi tersebut telah diatur segala sesuatunya mengenai hak dan kewajiban serta kewenangan lembaga-lembaga negara yang bernaung di bawah konstitusi.
Sebagai lembaga Eksekutif, pemerintah memiliki peranan yang sangat signifikan salam mengatur dan mengelola negara ini. Produk hukum yang telah dilegislasi selanjutnya secara praktis diterjemahkan oleh pemerintah dalam dunia realitas. Rakyat yang menjadi subjek sekaligus objek kebijakan senantiasa menjadi perhatian utama bagi pemerintah dalam setiap kali mengambil dan menyusun suatu kebijakan.
Termasuk di antaranya, peraturan daerah yang ditetapkan bersama baik oleh pemerintah daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) baik Provinsi maupun DPRD Kabupaten/ Kota. Sejauhmana kewenangan Pemerintah memiliki kewenangan dalam melakukan eksekutif review terhadap peraturan daerah, hal inilah yang akan menjadi pembahasan kami dalam makalah ini.
B. Pemerintah
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kata pemerintah, pemerintahan, dan pemerintahan daerah dibedakan artinya satu sama lain. Dalam ketentuan umum dirumuskan bahwa pemerintah adalah pemerintah pusat, yaitu Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara. Sementara pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintah daerah.
C. Peraturan Daerah (Perda)
Implementasi pelaksanaan pemerintahan daerah yang ditegaskan dalam Pasal 18 UUD 1945, akan sangat berpotensi timbulnya kemungkinan berkembangnya pluralisme hukum. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, tentang Pemerintahan Daerah, diperlukan antisipatif pemikiran harmonisasi hukum terhadap berbagai kemungkinan timbulnya keanekaragaman dalam sistem materi muatan Peraturan Daerah.
Dalam proses pembentukan Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, sangat berpotensi timbulnya keanekaragaman dan dengan demikian berpotensi pula timbulnya pertentangan di antara isi materi Peraturan Daerah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan antara satu daerah dengan daerah yang lain, yang selanjutnya berpotensi timbulnya berbagai pertentangan dalam penerapan dan dalam memberikan penafsiran terhadap isi materi Peraturan Daerah.
Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 angka 7 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan). Peraturan Daerah mendapatkan landasan konstitusional dalam konstitusi untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945). Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 12 menentukan materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka: a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan; b) menampung kondisi khusus daerah; serta c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dari sisi materi muatan, Peraturan Daerah adalah peraturan yang paling banyak dibebani materi muatan yang bercorak lokal. Sebagai peraturan terendah dalam hirarki peraturan perundang-undangan, Peraturan Daerah secara teoritis memiliki tingkat fleksibilitas yang tidak boleh menyimpang dari bidang-bidang peraturan perundang-undangan nasional. Dalam pendekatan ‘stufenbau theory’ dari Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Teori tersebut kemudian dalam ilmu hukum disebut asas “lex superior derogat legi inferiori”. Semua peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan Konstitusi UUD 1945.
Di sisi lain, Peraturan Daerah dapat dianggap sebagai peraturan yang mengagregasi nilai-nilai masyarakat di daerah. Peraturan Daerah dapat berisi materi muatan nila-nilai yang diidentifikasi sebagai kondisi khusus daerah. Oleh karena itu banyak Peraturan Daerah yang isi materi muatannya mengatur tentang pemerintahan daerah yang bercorak lokal. Di samping itu, Peraturan Daerah juga menjadi instrumen pemerintah daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah melalui pungutan yang timbul dari Peraturan Daerah tentang pajak daerah atau Peraturan Daerah tentang retribusi daerah.
Era otonomi daerah memberikan kebebasan kepada daerah untuk membuat Peraturan Daerah. Tidak sedikit Peraturan Daerah diterbitkan oleh pemerintah daerah, baik pada tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Dalam peraturan perundang-undangan, Peraturan Daerah memiliki posisi yang unik karena meski hirarki Peraturan Daerah berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat di antara para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya. Perdebatan mengenai berlakunya excecutive review dan judicial review terhadap Peraturan Daerah menjadi pertanyaan tersendiri di era otonomi daerah mengingat Peraturan Daerah adalah produk Kepala Daerah dengan persetujuan bersama DPRD di suatu daerah yang bersifat otonom.
Terkait dengan banyaknya Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah baik karena menimbulkan ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah, sebagai sistem instrumen hukum negara telah ditentukan mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesaian konflik peraturan dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan. Peraturan Daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh dua lembaga melalui dua model kewenangan, yaitu judicial review oleh Mahkamah Agung dan executive review oleh Pemerintah yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri.

D. Executive Review
Executive Review (pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh pemerintah pusat) terhadap suatu Peraturan Daerah, apabila secara murni mengacu pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, bukanlah menjadi suatu permasalahan, dikarenakan Pemerintah Daerah merupakan bagian dari Pemerintah Pusat atau berada dibawah Pemerintah Pusat. Sehingga, Pemerintah Pusat juga mempunyai kewenangan untuk menguji dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah. Pengujian terhadap suatu Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dalam rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintahan Daerah. Jika Pemerintah Daerah bersama-sama DPRD menetapkan suatu Perda, maka Pemerintah Daerah wajib menyerahkan Perda tersebut kepada Pemerintah Pusat untuk di evaluasi. Dan jika hasil evaluasi Pemerintah mendapatkan bukti bahwa Perda tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah membatalkan Perda tersebut dan untuk selanjutnya diserahkan kembali ke Pemerintah Daerah bersangkutan agar bersama-sama DPRD mencabut Perda dimaksud. Selanjutnya, Jika Pemerintah Daerah tidak menyepakati pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004. Selanjutnya, pada ketentuan Ayat (6), apabila keberatan tersebut dikabulkan sebagian atau seluruhnya, maka putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan Presiden yang membatalkan Perda bersangkutan menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode interpretasi argumentum a contrario terhadap Pasal 145 Ayat (6) tersebut, maka ditemukan bahwa Peraturan Presiden yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari Pemerintah Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah Agung tidak membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden.

Senin, 05 April 2010

Mari kita Santai..

meminjam petikan lirik Steven Coconut, mari kita santai..
sepertinya bangsa ini dalam situasi yang sangat tegang, segala sesuatunya selalunya dipolitisasi sehingga muncul kekhawatiran bagi sebagian kalangan..
ada yang saling curiga, saling nuduh, saling berkelahi, dan saling0saling yang lainnya..
Hmmm...
kenapa sih ga dibawa santai saja??
tentunya akan sulit yah, klo penjahat konstitusi membawa santai pelanggarannya, tpi klo memang tdk pernah melakukan kesalaha, ngapain mau tegang...
btw,. yang tegang itu hanya mereka-mereka yang hidup bermewah-mewahan tapi hasil jerih payah kotornya, korupsi sana-sini, rampok bank, dan gusur masyarakat..
kasian juga yah, sepintas lalu keliahatan sejahtera tapi ketika ditelusuri lebih dalam ternyata dalam kehidupannya yangada perasaan was-was.. kali aja KPK datang ke rumahnya dan membawa surat penagkapan.. kwkwkwkwk..
kasian yah mereka....

PENJELASAN TENTANG UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG KEWARGANEGARAAN

A. Pengantar

Negara adalah suatu organisasi di antara sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang secara bersama-sama mendiami suatu wilayah (territorial) tertentu dengan mengakui adanya suatu pemerintahan yang mengurus tata tertib dan keselamatan sekelompok atau beberapa kelompok manusia yang ada di wilayahnya. Organisasi negara dalam suatu wilayah bukanlah satu-satunya organisasi, ada organisasi-organisasi lain (keagamaan, kepartaian, kemasyarakatan dan organisasi lainnya yang masing-masing memiliki kepribadian yang lepas dari masalah kenegaraan). Kurang tepat apabila negara dikatakan sebagai suatu masyarakat yang diorganisir. Adalah tepat apabila dikatakan diantara organisasi-organisasi di atas, negara merupakan suatu organisasi yang utama di dalam suatu wilayah karena memiliki pemerintahan yang berwenang dan mampu untuk dalam banyak hal campur tangan dalam bidang organisasi-organisasi lainnya.

Terdapat beberapa elemen utama yang menjadi syarat terbentuknya sebuah negara, antara lain :

1. Rakyat

Unsur ini sangat penting dalam suatu negara, oleh karena orang / manusia sebagai individu dan anggota masyarakat yang pertama-tama berkepentingan agar organisasi negara berjalan baik. Merekalah yang kemudian menentukan dalam tahap perkembangan negara selanjutnya. Pentingnya unsur rakyat dalam suatu negara tidak hanya diperlukan dalam ilmu kenegaraan (staatsleer) tetapi perlu juga perlu melahirkan apa yang disebut ilmu kemasyarakatan (sosiologi) suatu ilmu pengetahuan baru yang khusus menyelidiki, mempelajari hidup kemasyarakatan. Sosiologi merupakan ilmu penolong bagi ilmu hukum tata negara.

2. Wilayah (Teritorial)

Tidak mungkin ada negara tanpa suatu wilayah. Disamping pentingnya unsur wilayah dengan batas-batas yabng jelas, penting pula keadaan khusus wilayah yang bersangkutan, artinya apakah layak suatu wilayah itu masuk suatu negara tertentu atau sebaliknya dipecah menjadi wilayah berbagai negara. Apabila mengeluarkan peraturan perundang-undangan pada prinsipnya hanya berlaku bagi orang-orang yang berada di wilayahnya sendiri. Orang akan segera sadar berada dalam suatu negara tertentu apabila melampaui batas-batas wilayahnya setelah berhadapan dengan aparat (imigrasi negara) untuk memenuhi berbagai kewajiban yang ditentukan.

3. Pemerintahan

Ciri khusus dari pemerintahan dalam negara adalah pemerintahan memiliki kekuasaan atas semua anggota masyarakat yang merupakan penduduk suatu negara dan berada dalam wilayah negara. Pemerintah yang dimaksud di sini adalah kekuasaan eksekutif yang keabsahannya diakui oleh sluruh masyarakat berdasarkan mekanisme pemilihan yang telah diaturberdasarkan konstitusi yang berlaku di negara itu.

4. Mendapatkan Pengakuan dari Negara Lain

Maksudnya, bahwa sebuah negara akan sah keberadaannya ketika negara tersebut menjadi bagian dari negara-negara lain dalam hal kerjasama disegala aspek kehidupan. Hal tersebut tentunya berangkat dari sebuah pengakuan dari negara lain tentang keabsahan negara yang diajak untuk bekerjasama.

Rakyat yang menetap di suatu wilayah tertentu, dalam hubungannya dengan negara disebut warga negara. Warga negara secara sendiri-sendiri merupakan subjek-subjek hukum yang menyandang hak-hak dan sekaligus kewajiban-kewajiban dari dan terhadap negara. Setiap warga negara mempunyai hakhak yang wajib diakui (recognized) oleh negara dan wajib dihormati (respected), dilindungi (protected), dan difasilitasi (facilitated), serta dipenuhi (fulfilled) oleh negara. Sebaliknya, setiap warga negara juga mempunyai kewajiban-kewajiban kepada negara yang merupakan hak-hak negara yang juga wajib diakui (recognized), dihormati (respected), dan ditaati atau ditunaikan (complied) oleh setiap warga negara. Salah satu persyaratan diterimanya status sebuah negara adalah adanya unsur warga negara yang diatur menurut ketentuan hukum tertentu, sehingga warga negara yang bersangkutan dapat dibedakan dari warga dari negara lain. Pengaturan mengenai kewarganegaraan ini biasanya ditentukan berdasarkan salah satu dari dua prinsip, yaitu prinsip ‘ius soli’ atau prinsip ‘ius sanguinis’. Yang dimaksud dengan ‘ius soli’ adalah prinsip yang mendasarkan diri pada pengertian hukum mengenai tanah kelahiran. Misalkan ada seseorang anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia,dan di Indonesia berlaku asas ius soli, maka anak tersebut secara otomatis menjadi Warga Negara Indonesia,karena lahir di indonesia. Sedangkan ‘ius sanguinis’ mendasarkan diri pada prinsip hubungan darah. Misalkan ada seseorang anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu WNI, dan Indonesia memakai asas ius sanguinis, maka anak tersebut menjadi WNI, karena ikut kewarganegaraan orang tuanya.

Pada pembahasan makalah kami ini, secara ringkas akan dibahas beberapa hal yang terkait dengan status kewarganegaraan Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan.

B. Status Kewarganegaraan

1. Pengertian

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan disebutkan bahwa yang dimaksud dengan Warga Negara adalah warga suatu Negara yang ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan, atau dengan kata lain warga negara adalah orang-orang yang menurut hukum atau secara resmi merupakan anggota resmi dari suatu Negara tertentu. Sedangkan Kewarganegaraan adalah segala hal ihwal yang berhubungan dengan warga negara.

2. Asas-Asas Kewarganegaraan

a. Azas Kelahiran (Ius Soli) : Azas kelahiran adalah penentuan status kewarganegaraan berdasarkan tempat atau daerah kelahiran seseorang.

b. Azas Keturunan (Ius Sanguinis) : Azas keturunan adalah pedoman kewarganegaraan berdasarkan pertalian darah atau keturunan.

c. Azas Perkawinan : Status kewarganegaraan dapat dilihat dari sisi perkawinan yang memiliki asas kesatuan hukum

d. Unsur Pewarganegaraan (Naturalisasi) : yakni seseorang menggunakan hak opsi untuk memilih atau mengajukan kehendak menjadi warga negara dari suatu negara (aktif) atau seseorang yang menolak untuk diwarganegarakan atau tidak mau diberikan status warga negara dengan menggunakan hak repudiasi (pasif)

3. Pembagian Status Kewarganegaraan

Status kewarganegaraan terbagi atas dua, yaitu :

a. Status Kewarganegaraan Apatride

Status kewarganegaran apatride adalah keadaan dimana seseorang tidak mempunyai kewarganegaraan,atau keadaan dimana seseorang tidak menjadi warganegara salah Satu Negara manapun.

b. Status Kewarganegaraan Bipatride

Status kewarganegaraan bipatride adalah suatu keadaandimana seseorang mempunyai kewarganegaraan ganda(mempunyai 2 kewarganegaraan

4. Warga Negara Indonesia

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Pasal 4 disebutkan bahwa warga negara Indonesia adalah :

a. Setiap orang yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dan / atau berdasarkan perjanjian Pemerintah Republik Indonesia dengan Negara lain sebelum Undang-Undang ini berlaku sudah menjadi Warga Negara Indonesia;

b. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia

c. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan Ibu warga Negara asing.

d. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga Negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia.

e. Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tetapi ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hukum Negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.

f. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 (tiga ratus) hari setelah ayahnya meninggal dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya Warga Negara Indonesia.

g. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia.

h. Anak yang lahir di luar perkawinan yang sah dari seorang ibu warga Negara asing yang diakui oleh seorang ayah Warga Negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak tersebut berusia 18 (delapan belas) tahun atau belum kawin.

i. Anak yang alhir di wilayah Negara Repbulik Indonesa yang pada waktu lahir tidak jelas status kewarganegaraan ayah dan ibunya.

j. Anak yang baru lahir yang ditemukan di wilayah Negara Republik Indonesia selama ayah dan ibunya tidak diketahui.

k. Anak yang lahir di wilayah Negara Republik Indonesia apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya.

l. Anak yang dilahirkan di luar wilayah Negara Republik Indonesia dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia yang karena ketentuan dari Negara tempat anak tersebut dilahirkan memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.

m. Anak dari seorang ayah atau ibu yang telah dikabulkan permohonan kewarganegaraannya, kemudian ayah atau ibunya meninggal dunia sebelum mengucapkan sumpah atau menyatakan janji setia.

Berdasarkan ayat-ayat dari pasal 1 UU. No. 12 Tahun 2006 tersebut di atas, kami akan mengkaji ayat ke (4)/ poin d. yang berbunyi :

” Anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga Negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia”.

Di Indonesia, yang dimaksud perkawinan campuran sebagaimana termaktub dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 adalah perkawinan antara dua orang yang tunduk pada hukum berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Menurut UU tentang Kewarganegaraan (UU No. 12 Tahun 2006), Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran, mengikuti asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Asas-asas adalah: Asas ius sanguinis (law of the blood). Kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.

  • Asas ius soli (law of the soil). Kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.
  • Asas kewarganegaraan tunggal. Menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
  • Asas kewarganegaraan ganda. Menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) atau pun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.
Berdasarkan UU ini anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNI dengan pria WNA, maupun anak yang lahir dari perkawinan seorang wanita WNA dengan pria WNI, sama-sama diakui sebagai warga negara Indonesia. Anak tersebut akan berkewarganegaraan ganda , dan setelah anak berusia 18 tahun atau sudah menikah maka ia harus menentukan pilihannya. Pernyataan untuk memilih tersebut harus disampaikan paling lambat tiga tahun setelah anak berusia 18 tahun atau setelah kawin. Pemberian kewarganegaraan ganda ini merupakan terobosan baru yang positif bagi anak-anak hasil perkawinan campuran.
Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah dan ibunya memiliki kewarganegaraan berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang beda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Pengaturan status hukum anak hasil perkawinan campuran dalam UU Kewarganegaraan yang baru, memberi pencerahan yang positif, terutama dalam hubungan anak dengan ibunya, karena UU baru ini mengizinkan kewarganegaraan ganda terbatas untuk anak hasil perkawinan campuran. Dengan banyaknya perkawinan campur di Indonesia sudah seharusnya perlindungan hukum dalam perkawinan campuran ini diakomodir dengan baik dalam perundang-undangan di Indonesia.